Senja
dibalik ilalang
Hujan baru saja reda.
Perlahan, awan gelap yang sedari tadi menghalangi cahaya matahari mulai
menyingkir, kini matahari bisa kembali menampakan dirinya, menghapus
butiran-butiran air hujan yang masih melekat pada daun Aglaonema commutatum di
depan rumah. Aku masih menatap jadwal harian yang dengan gagahnya terpampang di
dinding dekat meja belajar oh, sungguh? apa aku harus berhadapan dengan
rutinitas seperti ini setiap hari ? hari ini penuh dengan pelajaran exact.
Fisika ada diurutan pertama,disusul biologi, kimia, dan matematika ? ah
lagi-lagi aku harus berhadapan dengan rumus-rumus integral dijam-jam terahir
saat kantuk,lelah, dan letih sudah bercampur dengan suara cacing-cacing di
perut yang berdemo menuntut jatah makan.
Kulihat jam tanganku, jarum panjang menunjuknangan angka 8 dan itu berarti
hanya tersisa 20 menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi, aku bergegas keluar
meninggalkan Hasan adikku, yang masih
kesulitan mengikat tali sepatunya.
Jalan
raya sudah begitu sesak dengan mobil dan motor yang berlalu-lalang belum lagi
angkutan umum yang ugal-ugalan berusaha
memenuhi kendaraan mereka dengan sebanyak mungkin penumpang. Aku tak punya
cukup waktu untuk memilih kendaraan, terpaksa aku naik angkot dengan warna
hijau yang cetar membahana itu. Bukan aku tak tahu, sudah aku prediksi
sebelumnya angkot ini pasti tak nyaman, namun bagaimana lagi ? aku tak mau
berdiri didepan gerbang sekolah selama 1 jam hanya gara-gara terlambat beberapa
menit. Lagu-lagu dangdut ala pantura yang sungguh iuwh diputardengan
begitu kerasnya seolah-olah hanya sopir dan kenet yang berada dalam kendaraan
tersebut. Aku memilih duduk didekat jendela setidaknya udara luar lebih mudah
diterima syaraf-syaraf hidungku daripada pengapnya udara dalam angkot. Dalam
sepuluh menit aku sudah sampai di pemberhentian
“7000 bu,” kata kenet angkot berkulit hitam dengan
tato naga di lengannya
“Maaf mas saya hanya punya 4000 biasanya juga 4000
saya sama anak saya ini”
Aku memalingkan wajahku kearah sumber suara.
Terlihat seorang wanita tua dengan anak kecil disampingnya,berpakaian sangat
sederhana, nampaknya dia takasing. Kucoba memutar balik ingatanku, yah, benar,
diaa adalah wanita yang biasanya mengantarkan cucian kerumah sebelah.
“ Ini untuk membayar ongkos ibu ini mas “ nampaknya
ada sumber suara lain disana, gadis dengan balutan jilbab cream yang lebar,
sangat anggun dipadukan dengan warna kulitnya yang putih, lebih nampak seperti
keturunan tionghoa dengan matanya yang sipit dan bibirnya yang tipis. Dia
mengenakan baju yang sama denganku, apakah dia satu sekolah denganku juga ?
nampaknya aku tak pernah melihat dia sebelumnya. Jarum panjang Jam tanganku
sudah menunjukan angka 11 tak ada waktu lagi untuk memperhatikan gadis itu,
tepat setelah kakiku melangkah memasuki gerbang sekolah bel berbunyi,
“Untunglah” batinku dalam hati
Pak Surya sudah nampak dari kejauhan, segera
kupercepat langkahku menuju ruang kelas
“ Ana ! “ panggil Iza yang sudah kuduga, tiap selasa
dia akan membooking tempat duduk pojok paling belakang.
“Kau sudah tahu ? Cristy dipindahkan ke IPA 1 “
“Benarkah ? memangnya kenapa ?
“Semua siswa non muslim dipindahkan ke kelas A1”
“Lantas aku duduk dengan siapa ?“
“Katanya akan ada anak baru, dia anak tunggal CEO MG
Resort “
“Benarkah itu ? anak tunggal dari CEO resort
termegah di kotaku ? huh dia sombong dan angkuh “ pikirku dalam hati
“Selamat pagi anak-anak “ suara Pak Sur memotong
perbincanganku dengan Iza
“Silahkan berdoa menurut agama dan kepercayaan
masing-masing”
“Cukup. Kita lanjutkan materi senin lalu, maka yang
dimaksud kisi difraksi adalah ….”
“Tok..tok..tok..” terdengan suara ketukan pintu dari
luar , terlihat pak kepala sekolah dengan seorang anak? Siapa dia ? ah iya benar,
dia anak yang tadi kulihat dibus, tunggu ? apakah dia anak CEO itu ? pikirku
dalam hati, mencoba meneka-neka kemungkinan yang terjadi. Namun tak mungkin akankah seorang anak CEO naik
angkot ? segera kuhapus fikiran itu.
Setelah pak sur mempersilahkannya masuk, perempuan yang
ternyata benar-benar putri CEO itu memperkenalkan diri.
“Nama saya Zahra Maulida, teman-teman dapat
memanggil saya Zahra “
Singkat, dia tak terlihat seperti yang kubayangkan
sombong dan angkuh ? tidak ! seperti yang kukatakan sebelumnya dia anggun dan
cantik, suaranya ya ampun, lembut banget. Lain denganku, apalagi iza yang
terkenal dengan suaranya yang menggelegar.
Sebab tidak ada lagi tempat duduk yang tersisa
kecuali tempat disebelahku, diapun segera menempati tempat tersebut segera
setelah ppak sur mempersilahkannya duduk.
“ Aku Zana, Hazanah Nur Fatimah,” sapaku sembari
mengulurkan tangan
“Aku Zahra” balasnya sembari menebarkan seyum,
terlintas dibayanganku betapa friendly-nya dia.
Bel pulang berbunyi, 8 jam sudah kuhabiskan dengan
rumus-rumus cahaya, sel elektrolisis,integral, dan rumitnya jalur glikolisis
lengkap dengan ATP dan NADP nya. Lengkap sudah penderitaan hari selasa, belum
lagi tugas praktikum yang menumpuk membuatku pulang 3 jam lebih terlambat dari
biasanya. Aku baru sadar jam dinding kelas sudah menunjukan angka 4.30, mungkin
aku terlalu terhanyut dalam indahnya pemandangan angka-angka yang terwujudkan
dalam relief grafik sepanjang hampir 1 meter ini, sungguh ini lebih melelahkan
daripada lari 4 kali memutari lapangan sekolah ditambah 10 kali sit up dan 15
kali push up. Kau tahu ? lelahnya itu nggak
Cuma difisik, tapi juga lelahnya tuh disini.
Kutarik tasku, bergegas mencari angkot. Dari balik
gerbang sekolah, kulihat Zahra hendak memasuki mobil fortuner putih nan megah,
“Huh andai saja aku bisa naik mobil seperti itu “pikirku
dalam hati.
Menit demi menit berlalu, tak ada angkot yang lewat
dihadapanku, ahirnya kuputuskan naik becak, meski dengan tarif 3x lebih tinggi
dari tarif angkot, namun betapa terkejutnya saat aku mendapati dompetku tak ada
ditas. Benar, tadi pagi aku baru saja meninggalkan dompetku di loker kelas.
Sungguh sial
“Zana…!!”
Sepintas terdengar seseorang memanggilku,
Zahra ? bukankah itu Zahra? dia memanggilku dari
balik mobil fortunernya, perlahan mobil seharga lebih dari setengah milyar itu
mendekat kearahku.
“Kenapa belum pulang?” Tanya Zahra
“Belum ada angkot, kamu kenapa belum pulang? “
tanyaku berbalik
“Aku tadi membeli cat minyak dulu, ayo pulang
denganku, terlalu larut untuk pulang sendiri jam segini “
Ciatttttt…….!!!! Bagai kejatuhan durian runtuh,
sebenarnya aku sedikit sungkan, namun kalo aku menolak mungkin aku baru bisa
pulang saat adzan subuh berkumandang. Lagian, kapan lagi aku naik mobil mewah
sekelas ini?
“Sungguh ? apakah tidak merepotkanmu?”
“Ah, kamu ini, bukankah kita teman? kenapa harus
sungkan? dimana rumahmu?” tanya Zahra
“Di jalan Diponegoro 23 “
Jadilah aku untuk pertama kalinya mengendarai
mobil seharga lebih dari setengah milyar
ini. Dalam hitungan menit aku sudah sanpai dipertigaan dekat rumahku, saat itu
senja telah ber ganti menjadi gelap, seruan-seruan menuju kemenangan saling
bersahutan, saling memuji keagunganNya yang telah menciptakan bumi dengan
segala isi dan kemewahannya. Rumah bercat orange dengan hiasan bunga Aglaonema
commutatum sudah nampak, bak putri yang hendak turun dari kereta kencana,
sopir Zahra membukakan pintu dengan ramahnya
“Ah, betapa
bahagia hiup Zahra “ pikirku dalam hati
Bapak, ibu, dan hasan masih duduk diteras dari wajah mereka
terlukis jelas gradasi ekspesi kagum dan heran.
Ibu menyambut Zahra dengan hangat, begitupun bapak.
Zahra? dengan anggunnya ia mencium tangan ibu.
***
Zahra masih berkhalwat dengan pensil dan kertas
gambarnya, ada gambar ilalang dengan matahari senja dibaliknya. Indah dan
begitu nyata
“Kau mau menemaniku
kesuatu tempat Na ?”Tanya Zahra
“Kemana ?”
“Ketempat ini” jawab
zahra sembari menunjuk gambar ilalang senja itu
“Benarkah? Tentu saja
aku mau. Bagaimana kalo pulang sekolah ?”
Aku tak menyangka ada tempat seindah itu dalam
kehidupan nyata.
Burung burung kecil dan
capung-capung yang berwarna-warni menari-nari menyambut kami, begitupun bunga
ilalang yang berayun-ayun manja, zahra terdiam, ada butiran air dikelopak mata
sipitnya
“Indah sekali bukan ?
na, aku ingin bertemu dengannya saat melihat tempat ini” kata Zahra
“Dengan siapa ?
kekasihmu ?” tanyaku heran
“Iya”
Aku tak menyangka Zahra
memiliki seorang kekasih, setahuku dia selalu menjaga jarak dengan lawan
jenisnya.
“Aku ingin bertemu
kekasihku Na, yang telah menciptakanku, menciptakan padang ilalang ini, dan
memberiku pemandangan senja dibalik ilalang yang begitu mempesona”
“Apa maksudmu Na ?”
“Aku hanya merindukanNya,
jika ciptaanNya saja seindah ini, bagaimana keindahan penciptaNya ? Namun aku
tak tahu, adakah amalanku yang bisa kujadikan hujjah untuk bertemu
denganNya ? “
“Zahra…..” bisikku
dalam hati
Aku terperanga
mendengar ucapan Zahra, perempuan yang selalu menjaga pandangannya, menjaga
ucapan, selalu puasa senin kamis, selalu menghatamkan Al-Quran dalam satu
bulan, selalu memberikan sedekah kepada anak yatim tiap bulan masih
mempertanyakan adakah amalan yang dapat ia jadikan hujjah untuk bertemu
dengan penciptaNya, sedangkan aku? Bahkan aku tak pernah memikirkan untuk itu,
ah, betapa malunya aku berbicara dengannya
“Na…”
“iya Ra…?”
“aku iri sekali
saat melihat kedamaian dalam keluargamu,
kau tahu ? aku tak pernah mendengarkan ayahku membaca surat cinta Allah
dirumah, ibuku ? bahkan untuk alasan pekerjaan beliau belum bersedia
menjulurkan hijabnya, ah, sudahlah kok aku jadi curhat ya ? mari pulang” kata
zahra sembari mengusap airmata yang pperlahan menetes membasahi wajah putih
berpadu pucat itu, tak menyangka sudah dua jam kami melewati senja dibalik
padang ilalang
***
Awan cirrus masih menghias di atas menara
masjid Al Hasanah memamerkan keindahannya saat berpadu dengan birunya langit Kebumen
dipagi nan sejuk . beberapa siswa terlihat mengenakan sepatunya usai
melaksanakan shalat dhuha, aku mencari Zahra ketiap sudut mushala, tempat dia biasanya
bersemedi sebelum bel masuk berbunyi,
Bel sekolah dengan
alunan midi lagu kebangsaan menghentikan langkahku, ternyata hamper sepuluh
menit aku disini mencari Zahra, namun batang hidungnya saja tak nampak.
“Mungkin dia sudah berada dikelas” pikirku mencoba meneka-neka.
Setibannya dikelas, tas
merah muda yang selalu Zahra kenakan sudah ada dibanmgku paling depan, bersama
tasku.
“Ra? Ah, aku mencarimu
sejake tadi “
“Memangnya ada apa ?”
“Lihatlah”kataku sembari
menunjukan sapu tangan biru muda dengan motif bnga ilalang itu.
“ Aku melihat sapu tangan ini ketika pergi ke mall
kemarin, berhubung kau suka bunga ilalang, kupikir kau akan
menyukainya”sambungku
Zahra tersenyum, namun
matanya memerah,
” Apa yang salah denganku
?”
“Na,kau tahu, selama
ini aku tak pernah mendapatkan hadiah dari seorang teman, bahkan mereka yang
mengaku sahabatku. Terimakasih Na kau
membuatku merasakan bagaimana memiliki teman yang sesungguhnya, kau menemaniku
kepadang lalang, mendengarkan curhatanku, mengenalkanku dengan lingkungan baruku,
dan mengajariku banyak hal ” ucap Zahra
“Ra, kau salah, kau
yang mengajariku banyak hal, tentang hidup, tentang tujuan hidup, tentang
bagaimana kelak kita bertemu denganNya, tentang pertanggung jawaban atas apa
yang kita lakukan didunia, tentang betapa indahnya berbagi, dan aku mencoba
meneladani setiap kebiasaanmu Ra, meski aku belum dapat menghatam Al Quran
dalam waktu satu bulan, aku sudah dapat menghatam Al Quran dalam waktu dua
bulan, meskipun aku belum bisa sedekah keanak yatim tiap bulan, aku berusaha bersedekah panti yatim tiap dua bulan. Selain Rasulullah
dan kedua orang tuaku, kaulah tauladanku Ra, akulah yang seharusnya berterimakasih
“ jelasku
“Aku hanya berusaha
mengamalkan ilmu yang kudapatkan, Na kau tau, aku merasakan begitu indah persahabatan
yang dilandaskan akan kecintaan kita terhadapNya” ucap Zahra
“Na, bagaimana kalau
pulang sekolah kita jalan-jalan ? aku mau mengajakmu ketempat makan favoritku
sewaktu SD, roti disana sangat enak” ajak Zahra
“Benarkah ? kalo soal
makan-makan aku nggak bakal piker dua kali deh, pastilah aku setuju Ra”
Suara bu rani memotong
ppembicaraan ku dan zahra, nampaknya mataku sangatpeka terhadap keberadaan
beliau, mungkin karena telinga ini juga sudah bersiap-siap mendengarkan
kisah-kisah perjuangan bangsa indonesia yang hari ini akan beliau sampaikan,
sungguh beliau adalah guru searah pertama yang membuatku semangat saat melihat
kata “history” terpampang dijadwal pelajaran.
***
Awan cirrus telah
berganti menjadi awan sircus memberikan pertanda akan adanya hujan, aku dan Zahra
masih menikmati cupcake terahir di keeki bakery, memang benar kue ditoko berdinding kayu
dengan lantai marmer putih ini sangat lezat, belum lagi tempat ini mempunyai
desain interior yang sangat indah, cocok untuk semua kalangan, mataku tertuju
pada sebuah kolam ikan dengan patung wanita pembawa kendi disampingnya
“Tadi ada seorang anak
perempuan yang menolongku, dari tutup kepalanya nampaknya dia Muslim” kata
seorang perempuan yang lewat dan kemudian duduk menghalangi viewku
“Ah, jangan mudah
tertipu, tidak ada Muslim yang mau bertoleransi kepada agama lain. Bahkan
mengucapkan hari raya sajamereka tak sudi” kataseorang laki-laki yang kemudian
duduk di samping perempuan sebelumnya
Hatiku geram mendengarkata-kata
laki-laki tersebut, lidahnya yang tak bertulang dengan seenaknya mengucapkan
kata-katayang begitu buruk, ingin kututup mulutnya dengan buntalah tisu yang
ada didepanku, namun sepertinya ada peri-peri kebaikan disisiku, nuraniku masih
mengatakan untuk “tahan Zana, tahan !!“
“Kata Rasulullah diam
itu layaknya emas, tak perlu memperdulikan kata mereka, mereka hanya belum
mengenal kita, terkadang membalas kedzaliman dengan kearifan lebih baik daripada
membalas kedzaliman dengan kedzaliman, seperti kedua sumber api yang saling bertemu,
mereka takakan membuat salah satu api padam, melainkan hanya akan memperbesar
nyala api masing-masing “kata Zahra seolah-olah dia mengerti betul apa yang aku
rasakan
“ Tapi Ra, ah !
tidakkah kau merasa kata-kata mereka terlalu kejam ? kata siapa kita tak mau bertoleransi
? kita tidak mau mengucapkan selamat hari
raya sebab ada hukunya sendiri bukan ? tapi mereka ? sudah ditolong malah menghujat
!!” kataku dengan nada tinggi
Zahra terdiam sambil tersenyum
kearahku,
“Kau mau kutunjukan cara
yang rasulullah ajarkan ? ayo ke kasir “ kata Zahra dengan senyum yang sulit
kuartikan maksudnya
Setelah makanan terahir
masuk kedalam mulut, kitabergegas menuju kasir
“Mba, berapa harga
makanan kami, oh ya sekalian makanan orang
yang duduk disebelah kami “
Tanya Zahra ke petugas
kasir sambil menujuk kearah laki-laki yang menghujat umat islam tadi. Ah, aku
semakin heran dengan tingkah Zahra, apa maksudnya ?
“Jika mereka bertanya
siapa yang membayar makanan ini, berikan surat ini “
enjoy
the delicious cupcake
kami
muslim, dan kami tidak seperti yang kalian bayangkan,
kami
tulus menolong setiap saudara kami,
meskipun
mereka dari kalangan yang berbeda dengan kami
surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang
sangat indah, mencerminkan keindahan penulisnya
“Inilah yang dimaksud
membalas kedzaliman dengan kearifan sahabatku “
Hwaaaaaaa
………..!!!!!
Rasanya aku ingin segera
mencaritopeng untuk menutup wajahku,
“Zahra..apakah kau
manusia ?”tanyaku dalam hati,
Rasa maluku semakin
memuncak, aku heran, dari apa Allah menciptakan hati Zahra.
Tapi mengapa zahra
memberikan alamat email ku juga ?
“untuk apa alamat email
itu ra ?
“ah tidak aku hanya
iseng aja mungkin itu bermanfaat “
Ah, lagi,lagi,dan lagi
aku tak bisa menebak pikiran gadis yang
suka menggambar bunga alang-alang ini.
Kami pulang segera
setelah petugas kasir memberikan uang kembalian. Ada lukisan kegembiraan
diwajah Zahra, sedangkan diwajahku ? ah, bahkan tanda Tanya raksasa itu masih
khusyu’ bersemedi difikiranku, dan mungkin itu juga dapat terbaca di wajahku.
***
Kelas lansung berubah
bak pasar ikan begitu guru keluar, Iza dan Maya langsung mengeluarkan laptop. Seketika suara
tawanya menggelegar keseluruh antero sekolah. Sudah dapat ditebak pasti video running
man yang ada dimonitor mereka.
Kupandangi tempat duduk
sebelahku, ada apa ? mengapa zahra tidak berangkat ? pertanyaan itu berputar-putar
dikepalaku sejak tadi. Nomor tak ada yang aktiv, tak ada surat, sebenarnya
kenapa zahra?
anti
oke ra ?
pesan itu sudah kukirim
3x, tetap saja tak ada balasan.
“Apa aku ke rumah Zahra
ya ?” fikirku dalam hati
Ah, benar sekali aku baru
ingat kalo aku belum pernah kerumah zahra, teman-teman lainpun tidak ada yang
tahu rumah Zahra.
Ya sudahlah mungkin
besok dia sudah masuk lagi.
Ah, andai Zahra berangkat
akan kutunjukan padanya bahwa perempuan yang kami temui ditoko roti mengucapkan
maaf atas kelancangannya menghujat muslim, aku ingin menunjukan email-nya yang
berisi permintaan maafnya, sayang sekali.
Zahra benar, tak ada
gunanya membalas kedzaliman dengan sesamanya, akan lebih indah jika kia dapat
memadamkannya dengan kearifan.
***
Dua hari, tiga hari,
hingga empat hari pemilik tempat duduk sampingku belum terlihat, dan sudah
belasan pesan yang kukirimkan kepadanya, tapi tetap saja tak ada nama Zahra di inbox
ku, ahirnya kuputuskan keluar kelas sekedar mencari udara segar.
Ruang TU . benar,
kenapa aku tak berfikir mencari alamat zahra disana ?
Setelah bel sekolah berbunyi,
segera kucari kendaraan menuju alamat yang telah diberikan Bu Iis , kendaraan
tersebut berhenti di depan rumah mewah dengan gernbang tinggi itu.
“Tapi mengapa banyak
sekali orang ber jas putih disana ?” pikirku dalam hati.
“selamat siang pak. Apakah
benar ini rumah Maulida Azzahra?” tanyaku pada petugas satpam
“benar. Nona ini siapa
ya?” tanya beliau kembali
“saya teman Zahra pak.
Sudah lima hari Zahra tidak masuk sekolah, apakah Zahra baik-baik saja pak ?”
Seketika raut wajah
petuas tersebut berubah. Apa ini? Teka teki itu semakin sulit kupecahkan. Zahra
sebenarnya kenapa?
“penyakit nona kami
semakin parah sejak lima hari yang lalu, beliau kini hanya dapat terbaring di
tempat tidur”
Deg!!
Apa ini ? sakit apa?
Zahra tak pernah mengatakan apapun tentang sakit yang dia derita. Bahkan dia
tak pernah menunjukan dia sakit. Ah, aku masih berharap petugas tersebut hanya
bergurau.
“apakah nona mau
melihat beliau ? mari saya antarkan “
Aku tiba dikamar dengan
hiasan kaligrafi nan indah itu, jangan tanyakan bagaimana perasaanku, bukan
sedih, tapi sangat sedih, ah, aku bahkan tak dapat membendung air mataku,
bagaimana mungkin ? lima hari lalu dia masih menikmati cupcake bersamaku, dia
masih tersenyum, masih menunjukanku bagaimana membalas kedzaliman dengan kearifan,
sekarang tubuhnya penuh dengan alat-alat medis. Ah apakah ini mimpi? sosok itu
masih terbaring sembari memejamkan mata,
“Zahra,,,” ucapku
lembut sembari mengusap air mata
Tak ada respon. Aku
memandangi wajah itu, mata sipit itu, tangan nan penuh kebaikan itu, Zahra tak
seharusnya terbaring disini, seharusnya dia masih harus menunjukan kepada semua
orang bahwa bagaimana menjadi agen muslim yang baik. Zahra tak seharusnya
disini. Seluruh dunia harus melihat bahwa ada perempuan seperti Zahra dengan
hati mulianya.
“Zana…”
suara itu ? Zahra memanggilku
dengan sangat lembut, mata sipitnya telah terbuka
“iya Ra..? kau butuh
apa ?apakah aku mengganggumu?”
“tidak, Na.. maukah kau
membacakanku surat yasin?”
suara itu, aku semakin
sedih mendengarnya, tubuhku lemas melihat keadaan zahra yang demikian
“baik Ra, tunggu
sebentar..”
Ucapku sebelum kuambil air wudhu untuk mensucikanku
sebelum memegam AlQuranul karim
“Na… terimakasih sudah menjadi
sahabatku “
Aku tak kuasa mendengarnya,
tangisku semakin deras, aku hanya sanggup menganggukan kepala, seharusnya bukan
kau yang mesti mengucakan kata-kata itu ra, tapi aku, aku yang sharusnya berterimakasih
karena kau mau menjadi sahabatku
Ketika hendak kubuka
mushaf itu, kulihat senyum ada senyuman yang tersungging diwajah Zahra, bibirnya
masih mengucap dzikir, sedang ditangannya masih melingkar tasbih merah jambu
itu.
“Wasubhanalladzibiyadihimalakutullisyaiiwailaihi
turja’un” kuahiri bacaan surah yassin yang Zahra minta
“laillahaillallah
muhammadarrasulullah”
Bersama ayat terahir surat
Yassin Zahra mengucap syahadat, sembari menutup matanya. Tasbih yang melingkar ditangannyapun terjatuh,
kucoba setegar mungkin, dan mengikhlaskannya, karena kutahu dia menantikan saat
ini. Dokter-dokter disampingku pun terlihat sedih.
Zahra Maulida perempuan
yang tiga bulan lalu kulihat turun dari bus dengan keanggun ketulusannya, yang
membuatku merasakan betapa indah dan luar biasanya persahabatan yang dilandaskan
cinta pada Sang Khaliq, kini telah berpulang, melepas kerinduannya kepada Rabbnya,
meskipun tanpa orangtua di detik-detik terahirnya kutahu senyum diwajahnya
menunjukan bahwa dia bahagia bertemu kekasihnya, yang telah menciptakannya,
menciptakanku, dan padang ilalang itu. Allah Azza Wa Jalla